Minggu, 10 Februari 2013

ALLAH TRITUNGGAL


 Tritunggal = Tunggal-Tunggal?
Oleh: Pdt. Roby Setiawan[1]

Salah satu doktrin di dalam kekristenan yang paling sering diperdebatkan dan disalah-mengerti adalah tentang Allah Tritunggal. Bukan hanya orang-orang non-Kristen yang salah paham, tetapi  juga sebagian umat Tuhan. Bagaimana kita memahaminya?
Istilah ‘Tritunggal’ atau ‘Trinitas’ tidak pernah tertulis di dalam Alkitab, tetapi pengertiannya ada dan jelas ter-tulis di dalam firman Tuhan. Memang, akal manusia yang terbatas tidak akan dapat memahami secara tuntas doktrin ini. Diri Allah melampaui logika dan akal manusia.[2] Namun, itu bukan berarti bahwa Allah sama sekali tidak dapat dipahami oleh logika manusia. Ada hal-hal tertentu dari diri Allah yang sengaja dinyatakanNya bagi umatNya, seperti yang tertulis di dalam ayat berikut ini, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Torat ini” (Ul. 29:29).
Wahyu Allah diberikan secara progresif (secara ber-tahap, makin lama makin jelas) kepada umatNya. Di dalam PL, ke-Tritunggal-an Allah belum secara gam-blang dinyatakan. Namun, ayat-ayat tertentu menyata-kan ‘ke-jamak-an’ diri Allah, misalnya:

1.      Berfirmanlah Allah, ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita . . . .” (Kej. 1:26).
Siapakah ‘Kita’ di sini? Allah sedang berbicara dengan siapa? Ada beberapa penafsir mengatakan, bahwa Allah sedang berbicara dengan para malaikat.
Kalau tafsiran tsb diterima, maka itu berarti, bahwa manusia juga diciptakan menurut gambar dan rupa malaikat. Itu tidak benar, karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 5:1). Tafsiran yang tepat adalah, bahwa terjadi pembicaraan di antara ketiga Pribadi Allah Tritunggal untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah.
Perhatikan juga Kejadian 3:22, “Berfirmanlah Tuhan Allah: ‘Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan jahat. . . .” (bnd. Kej. 11:7).

2.      Pemunculan satu Pribadi Malaikat Tuhan yang unik (lain daripada para malaikat lainnya):
a.      Malaikat ini memberkati atas namaNya sendiri, seperti yang dilakukanNya kepada Hagar, “Lagi kata Malaikat Tuhan itu kepadanya, ‘Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu. . . .” (Kej. 16:10; bnd. Kej. 22:17-18).
b.      Hagar menyebutNya sebagai ‘TUHAN’ (Kej. 16:13), demikian pula dengan Abraham (Kej. 22:11).
c.       Malaikat Tuhan bersumpah demi diriNya sendiri (Kej. 22:16).
d.     Yosua bertemu dengan Panglima Balatentara Tuhan yang mau disembah (Yos. 5:13-15). Malaikat biasa tidak mau disembah (Why. 22:8-9).

Kesimpulan: Malaikat Tuhan di sini bukanlah seke-dar malaikat biasa, tetapi merupakan penampakan sementara dari Sang Firman yang sebelum ber-inkarnasi di dalam Tuhan Yesus Kristus, sudah menyatakan Diri sebagai ‘Malaikat Tuhan’ atau ‘Panglima Bala tentara Tuhan’.

3.      Pernyataan Pribadi-Pribadi yang berbeda dari Allah, misalnya ketika Sodom dan Gomorra dihukum Tuhan, “Kemudian TUHAN (cat: yang menampakkan Diri kepada Abraham dan Lot, Kej. 18:1; 19:1) menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit” (Kej. 19:24).

4.      Pada waktu Sang Firman berinkarnasi di dalam diri Tuhan Yesus, maka pernyataan ke-Tiga Pribadi dari Allah Tritunggal itu menjadi jelas. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini:

a.      Perkataan malaikat Gabriel kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu Anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk. 1:35).

b.      Ketika Yesus dibaptiskan dan sedang berdoa, “Terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atasNya. Dan terdengarlah suara dari langit: ‘Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan (Luk. 3:21-22).
Catatan:
Kejadian ini sungguh penting, sebab secara gamblang dinyatakan ketiga Pribadi yang berbeda dari Allah Tritunggal, yakni: Roh Kudus (dalam rupa burung merpati), suara dari langit (suara Bapa), dan Yesus (sang Anak) yang sedang dibaptiskan. Jadi, Pribadi Allah Bapa bukanlah Pribadi Anak, Pribadi Roh Kudus berbeda dengan Anak, dan Bapa tidak identik dengan Roh Kudus.

c.       Nubuat Yesus tentang  kedatangan Roh Kudus: “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan meng-ajarkan segala sesuatu kepadamu.....” (Yoh. 14:26).

d.     Amanat Agung yang diberikan Yesus sebelum Ia naik ke Sorga sangat jelas menyatakannya, “...dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19b).

e.      Berkat rasuli yang disampaikan oleh rasul Paulus juga demikian, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor. 13:13).

5.      Apa makna dari kata ‘Esa’?
Firman Tuhan berkata, “Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!” (bhs. Ibrani: “Yahweh elohenu Yahweh ekhad, Ul. 6:4). Kata ‘esa’ berasal dari kata ekhad (bhs. Ibrani) yang berarti: SAJA[3]. Jadi, ayat ini lebih tepat diterjemahkan: “TUHAN (Yahweh) adalah Allah kita, TUHAN SAJA.” Pernyataan ini menyatakan kedudukan TUHAN yang ekslusif (istimewa) terhadap ilah-ilah lain. Ia bertentangan dengan para ilah yang disembah oleh bangsa-bangsa di sekitar Israel.
Jadi, kata ekhad di dalam pengakuan iman  Israel sekali-kali bukan dimaksud untuk menekankan ‘Satu’nya angka secara matematis. Bangsa  Israel tidak pernah diperhadapkan dengan persoalan: ada satu Allah atau lebih dari satu. Bagi mereka, TUHAN (Yahweh) adalah satu-satunya Allah. Di luar Dia, tidak ada yang dapat disebut sebagai Tuhan.[4]
Pengertian keesaan Tuhan Allah yang sedemikian itu diucapkan oleh Tuhan Yesus sendiri, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh. 17:3).

6.      Tuhan Yesus pernah berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Apakah makna kata ‘satu’ di sini? Demikian pula dengan ayat-ayat berikut ini:

Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17:11b).
“Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21).

Kata ‘satu’ di atas bukan pula bermakna secara matematis.  Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah TIGA Pribadi yang berbeda, namun Mereka adalah SATU, maksudnya adalah: adanya KESATUAN di dalam kasih dan segala sifat yang tidak pernah konflik satu dengan yang lainnya. Ke-Tiga Pribadi Allah Tritunggal itu SATU di dalam segala rencana dan karya yang kekal. Mereka juga mempunyai hubungan yang begitu eksklusif, sehingga Sang Anak berkata kepada Bapa-Nya, “Sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau”. Penulis memberikan ilustrasi seperti kapas yang dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air. Maka dapatlah dikatakan: kapas di dalam air, dan air di dalam kapas. Jadi terjadi kesatuan antara kapas dan air. Kesatuan seperti itu seharusnya menjadi model yang sempurna bagi kesatuan umat Tuhan di dunia ini. Mari kita perhatikan penjelasan selanjutnya:

  1. Ajaran Roh Kudus berasal dari Sang Anak; sedangkan ajaran Sang Anak berasal dari Bapa yang mengutus-Nya (Yoh. 7:16; 16:13-15).
  2. Apa yang dikerjakan Bapa, itu pula yang dikerja-kan Anak (Yoh. 5:19b). Sang Anak datang ke dunia untuk memuliakan nama Bapa, yakni dengan cara menyelesaikan segala pekerjaan yang diberikan kepadaNya. Sedangkan Roh Kudus datang untuk memuliakan Sang Anak (Yoh. 16:14; 17:4).

7.      Apakah itu berarti, bahwa ‘Bapa’ lebih tinggi otori-tasNya dari ‘Anak’, dan ‘Anak’ lebih tinggi dari ‘Roh Kudus’?
Ketiga Pribadi itu sebenarnya setara, tidak ada yang lebih tinggi otoritasNya daripada yang lain. Namun, ada perbedaan di dalam pembagian tugas: Bapa merencanakan, Anak melaksanakan, Roh Kudus menggenapi. Di dalam semua karyaNya, misalnya: mencipta, berfirman, menebus, dan memelihara umatNya, ke-Tiga Pribadi Tritunggal itu selalu bekerja sama dengan sangat serasi dan harmonis. Contoh: Allah (Bapa) mencipta (Kej. 1:1; Ef. 3:9) dengan memakai Firman-Nya (=sang Anak, Kej. 1:3; Yoh. 1:1-3). Lalu dikatakan: Roh Allah (Roh Kudus) ‘melayang-layang di atas permukaan air’ (Kej. 1:2). Kata ‘melayang-layang’ di sini di dalam bahasa aslinya adalah ‘mengerami’, seperti seekor induk ayam yang mengerami telurnya supaya bisa menetas. Roh Kudus ‘mengerami’ alam semesta yang akan tercipta itu.

8.      Sang Anak pernah berkata, “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di Sorga tidak, dan Anak-pun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat. 24:36). Apakah itu berarti, bahwa pengetahuan Anak kurang dari pengetahuan Bapa?
Istilah ‘Anak’ selalu berkaitan dengan  inkarnasi sang Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:14). Pada waktu berinkarnasi, sang Firman memang sengaja ‘mengosongkan DiriNya sendiri’—maksudnya: Ia sengaja membatasi Diri dalam banyak hal, misalnya dalam hal pengetahuan dan keberadaanNya (bnd.  Fil. 2:7). Tetapi, apabila ditinjau dari keberadaanNya yang kekal, tentulah Sang Firman itu maha tahu adanya.  

9.      Apakah makna kata ‘Bapa’ dan ‘Anak’?
Dua kata ini tidak ada hubungan dengan makna bio-logis. Maksudnya: kata ‘Bapa’ bukan berarti bahwa Allah mempunyai istri lalu lahirlah sang Anak. Di dalam kehidupan seseharipun, kata ‘Bapa’ dan ‘Anak’ sering dipakai bukan dalam konotasi biologis,  misalnya: ‘bapak guru’--sebutan ‘bapak’ di sini ada-lah sebagai bentuk penghormatan terhadap seorang pria. Demikian pula dengan istilah ‘anak’ tidak selalu bermakna biologis, misalnya: ‘anak kapal’ (sekoci), ‘anak tangga’, ‘si Harun itu anak Bandung’.

  1. Sejak jaman PL, Allah telah disebut sebagai ‘Bapa’, “Bukankah Ia Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?” (Ul. 32:6b).
 “Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; namaMu ialah ‘Penebus kami’ sejak dahulu kala” (Yes. 63:16b).
“Dan di padang gurun . . . . TUHAN, Allahmu, mendukung engkau, seperti seorang mendukung anaknya . . . .” (Ul. 1:31).
“Maka haruslah engkau insaf, bahwa TUHAN, Allah-mu, mengajari engkau seperti seseorang mengajari anakNya” (Ul. 8:5).

Jadi, kata ‘Bapa’ di sini menunjuk pada makna:  Allah adalah Pencipta, Penebus, Pendukung, Pemelihara, dan Pengajar umat-Nya.

Nubuatan Yesaya tentang kelahiran sang Mesias adalah hal yang menarik. Sang Anak yang akan lahir itu diberi gelar: Penasehat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal, dan Raja Damai (Yes. 9:5). Sebutan ‘Bapa yang kekal’ di sini bukan  berarti bahwa Pribadi Allah Bapa = Pribadi Allah Anak, tetapi itu berarti bahwa sang Anak juga adalah Pencipta, Sumber hidup dan Pemelihara umatNya.

  1. Istilah ‘anak-anak Allah’, di dalam PL pernah dikenakan kepada para malaikat (Ayub 1:6; 2:1).  Bangsa Israel pernah disebut sebagai ‘anak Allah yang sulung’ (Kel. 4:22-23). Raja yang dilantik di gunung Sion juga diberikan julukan yang sama (Maz. 2:7).

Dari ayat-ayat di atas, kita bisa dapatkan  beberapa makna dari sebutan ‘anak Allah’:
ü  ‘Anak Allah’ menyatakan sifat-sifat Allah, seperti seorang anak biasanya menyatakan sifat-sifat orang tuanya. Para malaikat, disebut sebagai ‘anak-anak Allah’ karena mereka  harus menyatakan sifat-sifat Allah, misalnya: kesucianNya.
ü  ‘Anak Allah’ berarti memiliki persekutuan yang istimewa dengan Allah; seperti seorang anak biasanya memiliki hubungan yang eksklusif dengan orang tuanya.
ü  Istilah ini menunjuk pada sifat ‘wakil’ (representatif); seperti seorang anak adalah wakil dari orang tuanya.
ü  Sebutan ini juga menunjuk pada adanya tugas yang istimewa dari Allah, seperti seorang anak biasanya mendapat tugas yang isimewa dari orang tuanya.

  1. Tuhan Yesus disebut sebagai ‘Anak Allah yang Tunggal’ (Yoh. 1:18). Itu berarti:

ü  Dia adalah Sang Firman yang menjelma jadi manusia (cat.: bahasa aslinya adalah ‘daging’, Yoh. 1:14). Firman pernah menjadi ‘Agen’ Allah untuk menciptakan alam semesta (Yoh. 1:1-3). Firman juga pernah dipakai Allah untuk menyatakan ‘isi hatiNya’, melalui para nabi-Nya, untuk disampaikan kepada manusia (Ibr. 1:1-2). Jadi, sejak masa PL, firman Allah telah menjadi ‘jembatan’ antara Allah dengan manusia. Di dalam Diri Tuhan Yesus, firman itu telah menjadi ‘daging’; sehingga Ia disebut sebagai Sang Firman Yang Hidup (1 Yoh. 1:1).

ü  Yesus menyatakan secara sempurna semua sifat dan karya Bapa, sehingga ‘siapa yang pernah melihat Anak, ia telah melihat Bapa’ (Yoh. 14:9).  Kata ‘melihat Bapa’ di sini tentunya bukan berarti melihat secara fisik, sebab Bapa itu Roh adanya, dan tidak ada seorang manusiapun yang bisa melihat Dia (Yoh. 1:18). Kata ‘melihat Bapa’ di sini berarti melihat segala sifat dan karyaNya di dalam Diri Tuhan Yesus Kristus.

ü  Tuhan Yesus, sebagai Anak Allah yang Tunggal, memiliki persekutuan yang sangat istimewa dengan sang Bapa, sehingga Ia berkata, “Sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa” (Yoh. 10:15a). “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30).

ü  Sebagai Anak, Tuhan Yesus diberikan tugas yang istimewa dari Bapa, yakni: menebus umatNya dari hukuman dosa. Tugas semacam ini tidak pernah dan tidak mungkin diberikan kepada manusia lainnya. Sang Anak pernah berkata,
“Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa meng-ambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari BapaKu” (Yoh. 10:18-19).

10.  Adakah analogi yang bisa menjelaskan doktrin Allah Tritunggal?
Pertama-tama, yang perlu kita ingat adalah tidak ada satu analogipun yang bisa menjelaskan doktrin ini secara 100%. Jika Diri Allah bisa dijelaskan secara tuntas oleh akal manusia, maka itu berarti Allah lebih kecil dari otak manusia. Sang Pencipta selalu mempunyai eksistensi yang melampaui akal manusia.
Ada analogi yang diajarkan oleh sebagian orang, yakni: ketika berada di pemerintahan, Ibu Megawati adalah Presiden RI; dalam keluarga, beliau sebagai ibu rumah tangga; dan ketika berada di TNI, beliau sebagai Panglima tertinggi. Itulah Tritunggal, kata mereka.
Analogi di atas sebenarnya bukanlah Tritunggal, tetapi tunggal-tunggal. Di dalam sejarah Gereja, ajaran seperti itu dipelopori oleh Sabellius, yang meninggal pada tahun 215[5].  Ia mengajarkan, bahwa Tuhan Allah itu esa. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri Tuhan Allah yang esa itu.
Pada masa PL, Tuhan Allah menampakkan diriNya di dalam wajah (modus) Bapa, yakni sebagai Pencipta dan Pemberi hukum. Sesudah itu, Tuhan Allah menampakkan DiriNya di dalam wajah Anak, yakni sebagai Juruselamat. Akhirnya, Tuhan Allah, sejak hari Pentakosta, menampakkan DiriNya di dalam wajah Roh Kudus, yakni sebagai Yang Menghidupkan. Ketritunggalan di sini dipandang sebagai ketritunggalan penampakan yang berganti-ganti atau bergiliran. Yang menampakkan diri adalah Tuhan Allah yang satu itu.
Untuk menjelaskan pendapatnya itu, Sabellius mema-kai ilustrasi: matahari. Allah Bapa diumpamakan sebagai matahari dalam penampakannya; sedang Allah Anak adalah matahari di dalam sinarnya; dan Allah Roh Kudus adalah matahari dalam kekuatan-nya menyinarkan panas.
Sekali lagi, penjelasan Sabellius bukanlah Tritunggal tetapi tunggal-tunggal. Pada saat pembaptisan Yesus secara jelas dinyatakan, bahwa Tritunggal itu bukan sekedar penampakan yang berganti-ganti, tetapi memang Tiga Pribadi berbeda yang secara bersama-sama menyatakan Diri: ada suara Bapa dari Sorga, ada Pribadi Roh Kudus yang mengambil bentuk burung merpati, dan ada Pribadi Anak (Yesus) yang baru saja dibaptiskan (Mat. 3:16-17).

Analogi yang penulis usulkan adalah sbb.:
Allah Bapa adalah Allah yang tak terhingga, Allah Anak juga tak terhingga, demikian pula Allah Roh Kudus. Maka:
Tak terhingga + tak terhingga + tak terhingga = tak terhingga (tidak terdefinisikan).

Akhirnya, doktrin Allah Tritunggal bukanlah untuk diperdebatkan oleh manusia, karena doktrin itu merupakan pernyataan Diri Allah sendiri. Sebagai umatNya, kita hanya bisa mengamini dan menyem-bahNya, seperti firmanNya yang berkata, “O, alang-kah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya” (Roma 11:33).

















[1] Pdt. Roby Setiawan pernah belajar teologia secara formal di INALTA Jakarta, SAAT Malang, IFTK Jaffray-Jakarta, PBTS – Baguio City-Philipinnes, dan mendapat gelar Doctor of Theology di Asia Baptist Graduate Theological Seminary-Baguio City, Philippines bidang Practical Theology (1996).
[2] Banyak orang hanya membagi hal-hal yang: masuk akal dan tidak masuk akal. Tetapi ada satu hal lagi yang perlu diketahui, yaitu: hal-hal yang melampaui akal. Yang terakhir ini biasanya ber-kaitan dengan diri Allah yang menciptakan akal manusia.
[3] Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 99.
[4] Ibid., 100.
[5] Ibid., 105-06.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar